PEMENUHAN PERSYARATAN PENETAPAN RUMPUN KERBAU PERAH SUMATERA UTARA

PEMENUHAN PERSYARATAN PENETAPAN RUMPUN KERBAU PERAH SUMATERA UTARA

Marolop Nababan, Morina Dormasia, I G.N.A. Wisnu Adi Saputra

BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK SIBORONGBORONG

ABSTRAK

Peraturan Menteri Pertanian nomor 117/Permentan/SR.120/10/2014 tentang Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau Galur Hewan, pada Pasal 1 huruf 3 disebutkan bahwa penetapan rumpun atau galur adalah pengakuan pemerintah terhadap rumpun atau galur yang telah ada di suatu wilayah sumber bibit yang secara turun temurun dibudidayakan peternak dan menjadi milik masyarakat.

Proses pembentukan rumpun/galur hewan untuk penetapan rumpun harus sudah berjalan paling tidak selama lima generasi. Dalam kaitannya dengan hak kepemilikan Sumber Daya Genetik (SDG) ternak, untuk mengantisipasi berlakunya aturan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan SDG ternak yang terdapat di suatu wilayah, perlu dinyatakan dalam asal usul, sebaran asli geografisnya dimana rumpun/galur ternak terbentuk, karakteristik, informasi genetik, jumlah dan struktur populasinya, serta gambar ternak.

Keragaman sumber daya genetik hewan yang tersebar di wilayah Indonesia, termasuk Kerbau Perah Sumatera Utara perlu dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kerbau Perah Sumatera Utara setelah memenuhi persyaratan akan dinyatakan sebagai rumpun atau galur hewan yang telah beradaptasi pada suatu lingkungan dan merupakan galur baru ternak unggul. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan operasional dari pemerintah pusat maupun daerah untuk mengatur pelestarian sumber daya genetik Kerbau Perah Sumatera Utara yang diyakini akan bermanfaat bagi generasi mendatang.

Kata kunci: kerbau perah, rumpun, penetapan, sumatera utara

COMPLIANCE OF REQUIREMENTS FOR CONCESSION OF NORTH SUMATERA DAIRY BUFFALO BREED

ABSTRACT

Regulation of the Minister of Agriculture number 117 / Permentan / SR.120 / 10/2014 concerning Concession and Release of Animal Breeds or Strains, in Article 1 letter 3 it is stated that the concession of breeds or strains is the government's recognition of breeds or strains that already exist in a seed source area. which is traditionally cultivated by farmers and belongs to the community.

The process of forming breeds / strains of animals for the concession of breeds must have been running for at least five generations. In relation to the ownership rights of genetic resources (SDGs) of livestock, to anticipate the entry into force of access and benefit sharing for the utilization of livestock SDGs contained in an area, it needs to be stated in terms of origin, the original geographical distribution where the breed / strain livestock formed, characteristics, genetic information, number and structure of the population, as well as images of livestock.

The diversity of animal genetic resources spread across Indonesia, including the North Sumatra Dairy Buffalo needs to be preserved and utilized sustainably. The North Sumatra Dairy Buffalo after fulfilling the requirements will be declared as a breed or animal strain that has adapted to an environment and is a new breed of superior livestock. Therefore, operational policies from the central and regional governments are needed to regulate the preservation of the genetic resources of the North Sumatra Dairy Buffalo which is believed to be beneficial for future generations.

Key words: dairy buffalo, breed, concession, north sumatera

PENDAHULUAN

Salah satu bagian dari keanekaragaman hayati adalah sumber daya genetik (SDG) yang merupakan materi genetik dari nilai aktual atau potensial berupa bahan dari tanaman, hewan, mikroba atau asal lain yang mengandung unit-unit fungsional dari hereditas (WIPO 2016). Sumber daya genetik yang terkandung dalam keanekaragaman hayati mempunyai nilai penting dan strategis bagi ketahanan pangan, kesehatan, energi, lingkungan dan keamanan negara sehingga harus dimanfaatkan secara optimal dan dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang dan masa yang akan datang.

Peraturan Pemerintah (PP) nomor 48 Tahun 2011 tentang Sumber Daya Genetik dan Perbibitan Ternak Pasal 38 ayat (1) mengamanatkan bahwa penyediaan benih dan/atau bibit ternak merupakan tanggung jawab pemerintah; dan pada ayat (2) bahwa penyediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pengadaan di dalam negeri; dan/atau pemasukan dari luar negeri. Untuk pengadaan di dalam negeri, diamanatkan pada Pasal 39 bahwa dilakukan melalui kegiatan: (1) produksi benih dan/atau bibit; (2) penetapan wilayah sumber bibit; dan (3) penetapan dan pelepasan rumpun atau galur.

Peraturan Menteri Pertanian nomor 117/Permentan/SR.120/10/2014 tentang Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau Galur Hewan, pada Pasal 1 huruf 3 disebutkan bahwa penetapan rumpun atau galur adalah pengakuan pemerintah terhadap rumpun atau galur yang telah ada di suatu wilayah sumber bibit yang secara turun temurun dibudidayakan peternak dan menjadi milik masyarakat. Penetapan dan/atau pelepasan rumpun/galur hewan merupakan salah satu upaya antisipasi pemerintah untuk melindungi SDG Indonesia, bahwa SDG tersebut milik Indonesia, karena masa depan adalah era bioteknologi yang apabila tidak dilindungi SDG kita kemungkinan diakses pihak luar negeri dan tidak ada pembagian keuntungan terhadap pemilik SDG (CBD 2010). Tulisan berikut menyampaikan informasi mengenai pemenuhan persyaratan Kerbau Perah Sumatera Utara untuk dapat memenuhi persyaratan dan lulus dalam penetapan rumpun ternak di Indonesia.

KAJIAN PUSTAKA

Rumpun Ternak

FAO (1999) menyatakan bahwa rumpun merupakan salah satu dari kelompok subspesifik (subspecific group) ternak dengan karakteristik eksternal yang dapat diidentifikasi dan dapat dibedakan dari kelompok lain dalam jenis yang sama. Istilah rumpun di negara berkembang relatif lebih kompleks, suatu populasi ternak yang terpisah dengan populasi lainnya, apakah karena terpisah secara geografis, ekologi atau perbedaan kultur, cenderung menjadi rumpun baru (Rege 2001).

Berdasarkan sebaran asli geografis pembentukan rumpun ternak, terdapat istilah rumpun lokal dan rumpun transboundary. Rumpun transboundary dibedakan menjadi rumpun regional transboundary dan international transboundary. Rumpun lokal adalah rumpun yang terdapat dalam satu negara. Rumpun transboundary adalah rumpun yang pembentukannya lebih dari satu negara. Rumpun regional transboundary adalah rumpun yang terbentuk hanya dalam satu regional dan international transboundary adalah rumpun yang terbentuk lebih dari satu wilayah regional (Scherf & Schwabenbauer 2012).

Penetapan Rumpun

Penetapan rumpun/galur hewan merupakan salah satu bentuk perlindungan pemerintah kepada masyarakat yang telah membentuk rumpun/galur hewan dan telah dikembangkan secara turun temurun dan sudah beradaptasi di suatu wilayah sebaran asli geografis. Berdasarkan pengertian penetapan rumpun atau galur hewan, Setiadi, B (2016) menyampaikan bahwa rumpun hewan yang terbentuk dapat terjadi antara lain:

1. Hasil persilangan, persilangan ini dapat terjadi antara rumpun eksotik dengan rumpun lokal, atau antara rumpun lokal. Biasanya program persilangan antara rumpun eksotik dengan rumpun lokal dilakukan oleh pemerintah. Rumpun hasil persilangan tersebut dapat ditetapkan apabila sudah lama terjadi, mempunyai karakteristik tertentu yang diwariskan dan sudah beradaptasi pada lingkungan tersebut.

2. Seleksi, migrasi, mutasi dan random genetic drift. Terbentuknya rumpun lokal baru di suatu wilayah tertentu dapat terjadi karena adanya seleksi yang dilakukan peternak (seleksi buatan) maupun seleksi alam.

3. Migrasi suatu populasi manusia akan mendorong migrasi ternak yang dimilikinya. Dari sinilah dimulai proses adaptasi ternak terhadap lingkungan baru, serta adanya isolasi sehingga terbentuk populasi baru.

4. Mutasi yang dimaksud adalah perubahan struktur gen, dan kejadiannya bersifat acak. Kemungkinan perbaikan fungsi gen sebagai hasil mutasi relatif kecil.

5. Genetic drift (penggeseran genetik) yang dimaksud adalah perubahan frekuensi gen yang terjadi secara acak. Jika suatu ukuran populasi relatif kecil, penyimpangan genetik dapat mengawali peluang hilangnya alel-alel yang sederhana, khususnya jika mereka ada dalam frekuensi yang rendah.

6. Berkembangnya suatu rumpun ternak dapat merupakan gabungan antara seleksi, migrasi, mutasi dan penghanyutan genetik.

Pada Permentan nomor: 117/Permentan/ SR.120/10/2014, tidak ada yang menyatakan bahwa dalam proses pembentukan rumpun atau galur hewan baik yang dilakukan masyarakat secara turun-temurun ataupun melalui program pemuliaan, bahwa keseragaman dan kestabilan rumpun dinyatakan dalam periode generasi. Namun, berdasarkan definisi, yang dimaksud ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar negeri yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang telah beradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat (Peraturan Pemerintah Nomor: 48 Tahun 2011, Pasal 1 butir 17).

Oleh karena peraturan perundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan perundangan di atasnya, maka dari definisi tersebut proses pembentukan rumpun/galur hewan untuk penetapan rumpun harus sudah berjalan paling tidak selama lima generasi. Dalam kaitannya dengan hak kepemilikan SDG ternak, untuk mengantisipasi berlakunya aturan akses dan pembagian keuntungan (access and benefit sharing) terhadap pemanfaatan SDG ternak yang terdapat di suatu wilayah, perlu dinyatakan dalam asal usul, sebaran asli geografisnya dimana rumpun/galur ternak terbentuk, karakteristik, informasi genetik, jumlah dan struktur populasinya, serta gambar ternak.

PEMENUHAN PERSYARATAN PENETAPAN RUMPUN

1. Nilai Strategis

Sebagai ternak penghasil susu, Kerbau Perah Sumatera Utara bukan hanya memberikan sumbangan dalam menambah pendapatan petani peternak tetapi juga dapat memperbaiki gizi keluarga. Penjualan susu yang dilakukan peternak biasanya dalam keadaan segar, namun juga dapat diolah menjadi dali yaitu makanan khas Sumatera Utara berbahan dasar susu kerbau untuk dikonsumsi atau dijual kembali.

Jumlah produksi susu kerbau tidak sebanyak produksi susu sapi, namun secara kualitas susu kerbau lebih baik dibandingkan susu sapi (Bahri et al. 2007). Secara umum, komposisi susu kerbau sama dengan susu sapi atau ternak ruminansia lainnya hanya proporsinya yang berbeda-beda, yaitu mengandung air, protein, lemak, laktosa, vitamin, dan mineral. Susu kerbau mudah dikenali karena lebih kaya lemak, molekul lemak susunya lebih kecil dan membentuk emulsi dalam susu serta warnanya berciri khas lebih putih dibanding dengan susu sapi karena ketiadaan karoten (Murti, 2002). Lemaknya lebih mudah dicerna dan mengandung mineral yang lengkap. Kandungan lemak susu kerbau (butterfat) lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi yaitu mencapai 15% (Williamson et al. 1968). Curd proteinnya juga lebih lunak sehingga memungkinkan untuk dibuat keju. Untuk membuat 1 kg keju dibutuhkan 8 kg susu sapi, tetapi menggunakan susu kerbau cukup 5 kg saja. Dengan kata lain, secara komersial pemasaran susu kerbau merupakan potensi yang tidak bisa diabaikan (Hasinah dan Haniwirawan 2007).

2. Asal-usul

Kerbau Perah Sumatera Utara masuk ke Indonesia sekitar abad ke 18 pada masa penjajahan Belanda, dibawa langsung oleh warga negara Belanda ke kota Medan untuk dikembangkan di wilayah perkebunan untuk menghasilkan susu dalam memenuhi kebutuhan keluarga para bangsawan dan staf perkebunan. Jumlah kerbau yang datang pada awalnya antara 20-30 ekor, namun produksi susunya tidak seperti di negeri asalnya, sehingga didatangkanlah pekerja dari suku Sikh, India untuk memilihara kerbau perah tersebut yang membuahkan hasil dengan meningkatnya produksi susu.

Pada tahun 1918 (Sikh), bangsawan Belanda kembali mendatangkan ternak kerbau sejumlah 5 ekor di Pematang Siantar, 4 ekor di tahun 1928 di Kota Binjai serta 10 ekor kerbau di tahun 1948 yang menjadi tahun terakhir masuknya kerbau perah ke Sumatera Utara. Seiring berakhirnya penjajahan Belanda, pemeliharaan seluruh kerbau perah diserahkan kepada keluarga suku Sikh yang berada di seputaran Kota Medan. Perkembangan kerbau perah tersebut hingga saat ini sangat baik dengan produksi susu yang relatif tinggi.

Berdasarkan penelusuran terhadap rumpun kerbau perah yang didatangkan dari India, diperoleh informasi bahwa kerbau perah yang didatangkan pertama kali adalah jenis Kerbau Murrah, selanjutnya didatangkan jenis Kerbau Nilli-Ravi dan Surti. Keberadaan kerbau perah di Sumatera Utara saat ini merupakan hasil persilangan alami dari ketiga rumpun tersebut.

3. Sebaran Asli Geografis

Kerbau Perah Sumatera Utara telah menyebar pada 6 dari 33 kabupaten / kota di Provinsi Sumatera Utara, namun jumlahnya bervariasi dipengaruhi oleh daya dukung lahan dan ketersedian pakan, dimana populasi tertinggi terdapat di Kota Deli Serdang dengan jumlah kerbau mencapai 600 ekor. Sebaran populasi Kerbau Perah Sumatera Utara dapat dilhat pada Tabel 1.berikut.

Tabel 1.Sebaran Populasi Kerbau Perah Sumatera Utara Tahun 2019

No Kabupaten/Kota Jumlah (Ekor)
1 Tapanuli Utara 76
2 Deli Serdang 600
3 Serdang Berdagai 115
4 Labuhan Batu Utara 5
5 Kota Medan 6
6 Binjai 22
Jumlah Total 878

Sumber Data : Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019

4. Karakteristik

4.1. Sifat Kuantitatif

4.1.1. Karakteristik Morfologi Tubuh

Yang membedakan suatu rumpun pada jenis ternak yang sama ditentukan berdasarkan tampilan karakteristik morfologi tubuh ternak. Penampilan karakteristik antara kerbau perah / sungai dibandingkan kerbau potong / rawa jauh berbeda, kerbau perah/ sungai relatif lebih tinggi dibandingkan kerbau potong / rawa. Karakteristik morfologi tubuh ini menunjukkan bahwa kedua jenis kerbau tersebut berasal dari rumpun yang berbeda, dimana Amano et al. (1981) menyatakan bahwa kerbau perah / sungai dan kerbau potong / rawa didomestikasi dari nenek moyang (rumpun) yang berbeda.

4.1.2. Produktivitas Biologik

Produktivitas biologik kerbau perah diukur berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan produksi yang terukur, antara lain kemampuan beranak yang dijabarkan pada bobot lahir, bobot anak berusia 12 bulan, bobot anak berusia 2 tahun serta jarak beranak, yang diuraikan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Produktivitas Beranak pada Kerbau Perah Sumatera Utara

No Uraian Rataan Simpang Baku
1 Bobot Lahir (Kg) 33,0 3,96
2 Bobot 12 Bulan (Kg) 232 54,1
3 Bobot 2 Tahun (Kg) 253 64,16
4 Jarak Beranak 9 (bln) 14 1,03

Sumber Data : BPTUHPT Siborongborong Tahun 2018

Kerbau Perah Sumatera Utara juga menghasilkan kuantitas dan kualitas susu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dengan kerbau potong / rawa dalam rataan produksi harian, kandungan asam amino serta kandungan nutrisi sebagaimana ditunjukkan Tabel 3, 4 dan 5.

Tabel 3. Produktivitas Susu

No Uraian Rataan
Kerbau Perah Sumatera Utara Kerbau Potong/ Rawa
1 Produksi Susu/Hari 6-8 Liter 1-1,5 Liter
2 Lama Laktasi (Hari) 240-300 236-277

Sumber Data : Karakteristik Susu Kerbau Sungai dan Rawa di Sumatera Utara (Damayanthi, E.,dkk., 2014).

Tabel 4. Kandungan Asam Amino Susu

No Uraian Rataan
Kerbau Perah Sumatera Utara Kerbau Potong/ Rawa
1 Aspartic acid 0,17 0,15
2 Glumatic acid 0,44 0,23
3 Serine 0,11 0,12
4 Histidin 0,05 0,14
5 Glycine 0,04 0,04
6 Threonine 0,11 0,17
7 Arginine 0,04 0,06
8 Alanine 0,07 0,07
9 Tyrosine 0,07 0,38
10 Methionine 0,05 0,60
11 Valine 0,14 0,15
12 Phenylalnine 0,11 0,17
13 I-Ieucine 0,13 0,18
14 Leucine 0,21 0,19
15 Lysine 0,17 0,21
16 Amino Acid Total 1,88 2,85

umber Data : Karakteristik Susu Kerbau Sungai dan Rawa di Sumatera Utara (Damayanthi, E.,dkk., 2014)

Tabel 5. Kandungan Nutrisi Susu

No Uraian Rataan
Kerbau Perah Sumatera Utara Kerbau Potong/ Rawa
1 Kadar Protein (%) 4,68 + 0,41 5,14 + 0,37
2 Kadar Lemak (%) 4,13 + 0,73 7,23 + 1,58
3 Bahan Kering Tanpa Lemak (%) 11,5 + 0,86 10,61 + 0,78
4 Kadar Air (%) 80,33 + 2,33 81,87 + 2,26
5 Berat Jenis (Kg/m3) 1036 1030
6 Total Plate Count 5,08 x 105 3,79 x 106

Sumber Data : Karakteristik Susu Kerbau Sungai dan Rawa di Sumatera Utara (Damayanthi, E.,dkk.2014).

4.2. Sifat Kualitatif

Sifat-sifat kualitatif kerbau secara umum meliputi warna kulit, garis kalung putih / chevron, warna kaki dan bentuk tanduk. Perbandingan antara Kerbau Perah Sumatera Utara dengan kerbau potong / rawa ditunjukkan pada Tabel 6, 7, 8 dan 9.

Tabel 6. Perbandingan Warna Kulit

No Warna Kulit Persentase
Kerbau Perah Sumatera Utara Kerbau Potong/ Rawa
1 Hitam 75,51 % -
2 Coklat 24,49 % -
3 Abu - Abu - 92,16 %
4 Abu - Abu Gelap - 7,84 %

Sumber Data : Studi Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Sungai, Rawa dan Silangannya Di Sumatera Utara (Sitorus, A.J. 2008).

Tabel 7. Perbandingan Garis Kalung Putih / Chevron

No Jenis Garis Kalung Putih/ Chevron Persentase
Kerbau Perah Sumatera Utara Kerbau Potong/ Rawa
1 Tidak Ada 100 % -
2 Tunggal (atas) - 1,96 %
3 Tunggal (bawah) - 23,53 %
4 Tunggal (bawah) bercabang - 1,96 %
5 Double (atas dan bawah) - 47,06 %
6 Double (bawah bercabang) - 25,49 %

Sumber Data : Studi Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Sungai, Rawa dan Silangannya di Sumatera Utara (Sitorus, A.J. 2008).

Tabel 8. Perbandingan Warna Kaki

No Warna Kaki Persentase
Kerbau Perah Sumatera Utara Kerbau Potong/ Rawa
1 Hitam 44,90 % -
2 Coklat 18,36 % -
3 Putih 36,74 % -
4 Abu - Abu Muda - 94,12 %
5 Abu - Abu - 5,88 %

Sumber Data : Studi Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Sungai, Rawa dan Silangannya di Sumatera Utara (Sitorus, A.J. 2008).

Tabel 9. Perbandingan Bentuk Tanduk

No Bentuk Tanduk Persentase
Kerbau Perah Sumatera Utara Kerbau Potong/ Rawa
1 Normal Sungai 89,6 % -
2 Menggantung 10,4 % -
3 Normal Rawa   96,2 %
4 Menggantung - 3,8 %

Sumber : Studi Craniometrics dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Sungai, Rawa dan Silangannya di Sumatera Utara (Asoen, N. J. F. 2008).

5. Informasi Genetik

Penentuan jarak genetik berdasarkan karakteristik ukuran tubuh menunjukkan bahwa jarak terkecil ditemukan antara Kerbau Perah Sumatera Utara dan kerbau silangan yaitu sebesar 1,2476. Jarak genetik terjauh ditemukan antara kerbau potong / rawa dan Kerbau Perah Sumatera Utara yaitu 4,1556 sedangkan kerbau potong / rawa dengan kerbau silangan memiliki jarak sebesar 3,8144 yang ditunjukkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Matriks Jarak Genetik Kerbau

Jenis Kerbau Kerbau Potong/ Rawa Kerbau Perah Sumatera Utara Kerbau Silangan
Kerbau Potong/ Rawa 0,0000 - -
Kerbau Perah Sumatera Utara 1,2476 0,0000 -
Kerbau Silangan 4,1556 3,8144 0,0000

Sumber Data : Studi Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Perah/Sungai, Rawa dan Silangannya di Sumatera Utara (Sitorus, A.J. 2008).

Gambar 1 : Dendogram Kerbau Perah Sumatera Utara, Persilangan dan Potong/Rawa

Sumber Data : Studi Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Perah/Sungai, Persilangan dan Rawa/Potong di Sumatera Utara (Sitorus, A.J. 2008).

Dendogram di atas menunjukkan bahwa Kerbau Perah Sumatera Utara dan kerbau silangan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat serta memiliki hubungan kekerabatan yang cukup jauh dengan kerbau potong / rawa. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian Amano, et al.(1981) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara kerbau potong / rawa dengan kerbau perah/sungai baik secara spesifikasi imunogenetik maupun karakteristik kimia gen.

Tabel 11. Frekuensi Gen κ-Kasein EcoRV

No Bangsa Lokasi Genotipe Alel
CC CT TT C T
1 Kerbau Perah Sumatera Utara BPTUHPT Siborongborong 0,600 (12)

0,350 (7)

0,050 (1) 0,775 0,225
2 Deli Serdang 0,950 (19)

0,050 (1)

0 (0) 0,975 0,025
Sub Total   0,775 (31)

0,200 (8)

0,025 (1) 0,875 0,125
3 Kerbau Potong/ Rawa Sumatera Utara 1,000 (24)

0,000 (0)

0,000 (0) 1,000 0,000

Sumber Data : Identifikasi Keragaman Gen κ-Kasein dan Hubungannya dengan Kualitas Susu Kerbau Lokal (Rini, A.O. 2014).

Frekuensi genotipe homozigot CC menunjukkan nilai tertinggi pada seluruh lokasi, dibandingkan dengan genotipe CT dan TT. Frekuensi genotipe CC ditemukan tinggi pada daerah Deli Serdang (0.950), frekuensi genotipe CT tertinggi ditemukan pada daerah BPTUHPT Siborongborong (0.350), sedangkan genotipe TT hanya ditemukan pada satu ekor Kerbau Perah Sumatera Utara di BPTU Siborongborong (0.050). Frekuensi alel C dan T Kerbau Perah Sumatera Utara adalah 0.875 dan 0.125. Adanya variasi alel menunjukkan gen κ-Kasein pada Kerbau Perah Sumatera Utara polimorfik. Nei (1987) menyatakan bahwa suatu alel dapat dikatakan bersifat polimorfik apabila frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0.99.

6. Populasi

Jumlah dan struktur populasi Kerbau Perah Sumatera Utara diuraikan pada Tabel 12 di bawah ini.

Tabel 12. Jumlah dan Struktur Populasi

No Kabupaten/ Kota Betina (Ekor) Jantan (Ekor) Jumlah (Ekor)
1 Medan 50 10 60
2 Deli Serdang 550 50 600
3 Binjai 16 6 22
4 Labuhan Batu Utara 4 1 5
5 Serdang Berdagai 100 15 115
6 Tapanuli Utara 59 17 76
    779 99 878

Sumber : Pendataan lapangan oleh Petugas Penyuluh Lapangan Pertanian Prov. Sumatera Utara bulan Oktober Tahun 2019

7. Gambar Ternak

Gambar 2 : Gambar Kerbau Perah Sumatera Utara (jantan, betina dan anakan)

KESIMPULAN DAN SARAN

Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 117/Permentan/SR.120/10/2014 tentang Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau Galur Hewan, merupakan salah satu bentuk perlindungan Pemerintah terhadap rumpun/galur ternak lokal yang dipelihara peternak secara turun temurun pada suatu wilayah sebagaimana halnya Kerbau Perah Sumatera Utara. Penetapan rumpun/galur juga sebagai antisipasi masa depan adanya peraturan perundangan yang bersifat internasional terkait dengan akses terhadap sumber daya genetik dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik yang diakses para pihak.

Keragaman sumber daya genetik hewan yang tersebar di wilayah Indonesia, termasuk Kerbau Perah Sumatera Utara perlu dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kerbau Perah Sumatera Utara setelah memenuhi persyaratan akan dinyatakan sebagai rumpun atau galur hewan yang telah beradaptasi pada suatu lingkungan dan merupakan galur baru ternak unggul. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan operasional dari pemerintah pusat maupun daerah untuk mengatur pelestarian sumber daya genetik Kerbau Perah Sumatera Utara yang diyakini akan bermanfaat bagi generasi mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2011 tentang Sumber Daya Genetik dan Perbibitan Ternak.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 117/Permentan/SR.120/10/2014 tentang Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau Galur Hewan

Amano, T. M. Katsumata dan S. Suzuki. 1981. Morphological and Genetical Survey of Water Buffaloes in Indonesia. Dalam: Grant-in-Aid for Overseas Scientific Survey (Editor). Phylogeny of Indonesia Native Livestock. Part II. The research Group of Overseas Scientific Survey.

Asoen, N. J. F., Sumantri, C & Anggraeni, A. 2008. Studi Craniometrics dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Sungai, Rawa dan Silangannya di Sumatera Utara. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bahri, Sjamsul, Talib, C. 2007. Strategi Pengembangan Pembibitan Ternak Kerbau. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi.

CBD. 2010. Access to genetic resources and the fair and equitable sharing of benefits arising out of their utilization. Montreal (Canada): Convention on Biological Diversity.

Damayanthi, E., Yopi., Hasinah, H.,. Styawardani, T., Rziqiati, H dan Putra, S. 2014. Karakteristik Susu Kerbau Sungai dan Rawa di Sumatera Utara. JIPI. Vol 19 (2) : 67 – 73.

FAO. 1999. The global strategy for the management of farm animal genetic resources. Rome (Italy): FAO.

Hasinah dan Hadiwirawan. 2001. Keragaman Genetik Ternak Kerbau di Indonesia. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York (US): Colombia University Pr.

Rege JEO. 2001. Defining livestock breeds in the context of community-based management of farm animal genetic resources. In: Proceedings of the CommunityBased Management of Farm Animal Genetic Resources. Mbabane, 7-11 May 2001. Mbabane (Swaziland): FAO. p. 27-35.

Rini, A. O. 2014. Identifikasi Keragaman Gen κ-Kasein dan Hubungannya dengan Kualitas Susu Kerbau Lokal. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Scherf B, Schwabenbauer E. 2012. Transboundary breeds [Internet]. Rome (Italy): FAO. Available from: www.fao.org/AG/AGAINFO//themes/documents/iby s/8.htm

Setiadi, B. 2016. Strategi Pemenuhan Syarat Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau Galur Baru Ternak WARTAZOA Vol. 26 No. 3 Th. 2016 Hlm. 133-142 DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v26i3.1395

Sitorus, A. J. 2008. Studi Keragaman Fenotipe Dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Sungai, Rawa Dan Silangannya Di Sumatera Utara. Skripsi.Program Studi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Williamson, G., dan W.J.A. Payne.1993. Pengantar Peternakandi Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta (Diterjemahkan oleh: S.G.N.D. Darmadja).

WIPO. 2016. Genetic resources. New York (US): World Intellectual Property Organization.

 

UCAPAN TERIMA KASIH

Disampaikan kepada :

1. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Sumatera Utara;

2. Kepala Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTUHPT) Siborongborong;

3. Kepala Balai Veteriner Medan;

4. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara;

5. Kepala Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih;

beserta staf / personel terkait atas kerja samanya dalam pemenuhan persyaratan penetapan rumpun ternak Kerbau Perah Sumatera Utara