Vaksinasi Septicemia Epizootica Sebagai Langkah Awal Pencegahan Penyakit SE Pada Kerbau di BPTUHPT Siborongborong

VAKSINASI SEPTICEMIA EPIZOOTICA SEBAGAI LANGKAH AWAL PENCEGAHAN PENYAKIT SE PADA KERBAU DI BPTUHPT SIBORONGBORONG

Agung S.P. Lumbantobing, Riris Sigalingging , Tokmen Purba., Theresia A.N. Manihuruk Matius Danang S

BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAAN TERNAK SIBORONGBORONG

ABSTRAK

Upaya peningkatan produksi populasi ternak dalam rangka pencapaian swasembada daging sapi dan kerbau harus mengantisipasi timbulnya kendala-kendala seperti gangguan kesehatan hewan. Penyakit ngorok atau Septicaemia Epizootica (SE) adalah penyakit yang disebabkan oleh Pasteurella multocida B:2, menyerang hewan sapi dan kerbau, bersifat akut dan sangat fatal. Pencegahan dan pengendalian utama pada penyakit ini adalah vaksinasi. Vaksinasi dilakukan pada ternak kerbau di BPTUHPT Siborongborong adalah vaksin inaktif (mati) Septicemia Epizootica strain Katha dalam emulsi minyak dengan nomor batch 610E8VN. Rute pemberian melalu parenteral secara intramuskular. Jumlah terak yang telah divaksinasi adalah 278 dari 290 ekor ternak kerbau berusia diatas 2 bulan. Setelah vaksinasi sebaiknya dilakukan pengambilan sampel untuk pengujian titer antibodi untuk mengetahui keberhasilan reaksi vaksinasi dan pengulangan vaksinasi bila diperlukan

Kata Kunci : Vaksinasi, Septicemia Epizootica, Pasteurella multocida

 

SEPTICEMIA EPIZOOTICA VACCINATION AS THE INITIAL STEP OF PREVENTION OF SE DISEASES IN BUFFALO IN BPTUHPT SIBORONGBORONG

ABSTRACT

Efforts to increase livestock population production in the context of achieving self-sufficiency in beef and buffalo must anticipate the emergence of obstacles that inhibit such as animal health disorders. Snoring or Septicaemia Epizootica (SE) was a disease caused by Pasteurella multocida B:2, attacked cattle and buffalo, was acute and very fatal. The main prevention and control of this disease was vaccination. Vaccination was carried out on buffalo cattle in BPTUHPT Siborongborong use inactivated vaccine (kill) Septicemia Epizootica Katha’s strain in oil emulsion with batch number 610E8VN. The route of administration was parenterally intramuscularly. The number of slags that had been vaccinated was 278 from 290 buffalos aged over 2 months. After the vaccination, it was better to take a sample for testing the antibody titer to determine the success of the vaccination and repetition of the vaccination if necessary

Keywords: Vaccination, Septicemia Epizootica, Pasteurella multocida

 

PENDAHULUAN

Dalam rangka pencapaian swasembada daging sapi dan kerbau dan pencapaian nawacita Kementerian Pertanian sebagai lumbung pangan tahun 2045 perlu dilakukan peningkatan produksi populasi ternak. Dalam upaya peningkatan populasi tersebut harus meminimalisir kendala-kendala yang mungkin akan menghambat produksi salah satunya adalah penyakit. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 56/Permentan/ OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Kerbau Yang Baik (good breeding practice) menyatakan pembibitan kerbau harus memperhatikan persyaratan kesehatan hewan antara lain, melakukan vaksinasi dan pengujian/tes laboratorium terhadap penyakit tertentu yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang, mencatat setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai dalam kartu kesehatan ternak dan melaporkan kepada dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat (instansi yang berwenang) setiap timbulnya kasus penyakit terutama yang diduga/dianggap penyakit menular. Salah satu penyakit hewan menular yang dapat mengganggu peningkatan populasi ternak adalah penyakit ngorok atau Septicaemia Epizootica (SE).

Penyakit ngorok (Septicaemia epizootica) adalah penyakit yang disebabkan oleh Pasteurella multocida B:2, menyerang ternak sapi dan kerbau, bersifat akut dan sangat fatal. Penyakit ini tersebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia.

Kasus pertama SE di Indonesia ditemukan di Tangerang pada tahun 1884 (Putra,2006) dan sejak akhir abad ke-19 kasus tersebut telah dilaporkan setiap tahun di sebagian besar wilayah di Indonesia, seperti: Sumatera, Kalimantan, Bali, Jawa, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur (Natalia dan Priadi 2006; Agustini et al. 2014; BPSSulSel,2015; Dartini dan Narcana,2015; Anonim, 2016; NTTO,2017) yang dirangkum pada Gambar 1 dan tabel 1.

Gambar 1 Peta persebaran SE di Indonesia 2005- 2017 (Natalia dan Priadi 2006; Agustini et al. 2014; Anonim, 2016CIVAS 2017; NTTO 2017)

Tabel 1 Kejadian penyakit SE beberapa daerah di Indonesia Sumber: Lily Natalia dan Adin Priadi (2018) Kerugian ekonomi terbesar akibat penyakit ini terjadi di Asia. Walaupun estimasi kuantitatif kerugian ekonomis akibat penyakit ini jarang dilakukan, tetapi menurut Bain et al. (1982) di Asia kematian per tahun mencapai 100.000 ekor. Di Indonesia kematian sapi/kerbau pada tahun 1997 akibat penyakit ngorok mencapai 9.288 ekor atau 27,9 miliar rupiah (Anonim2, 1998). Pada tahun 1995, penyakit SE digolongkan pada salah satu dari 14 jenis Penyakit Hewan Menular Strategis di Indonesia yang pemberantasan dan pengendaliannya berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah. Untuk mencegah kejadian SE pada ternak kerbau di BPTUHPT Siborongborong dan mencegah kerugian dari sumber penyakit tersebut maka dilakukan tindakan pencegahan berupa program vaksinasi seluruh ternak kerbau pada masing-masing instalasi.

 

Kajian Pustaka

Gejala Klinis

Kasus penyakit SE biasanya dilaporkan sebagai kematian hewan dalam waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya ingus dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Hewan kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan hewan sapi. Lama atau jalannya penyakit sampai pada kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 – 5 hari. Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 -5 hari. Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi hewan melemah dan berbaring. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit (Alwis, 1992).

Patogenesa

Penularan penyakit biasanya dipengaruhi oleh stres, kepadatan hewan, manajemen pemeliharaan yang tidak baik, dan musim. Sumber organisme yang infektif dalam wilayah wabah yang baru diduga berasal dari hewan carrier yang secara intermitent dikeluarkan oleh hewan carrier yang kebal tetapi membawa organisme tersebut dalam tonsilnya (Wijewardana et al., 1993). Kuman banyak disekresi melalui leleran hidung pada fase demam awal, sehingga periode ini merupakan masa penularan yang penting. Dalam kondisi yang mendukung yaitu keadaan lembab atau basah kuman yang diekskresi dapat bertahan selama seminggu sehingga memungkinkan penularan tak langsung ke hewan lainnya (Bain et al., 1982)

Morbiditas dan mortalitas penyakit dipengaruhi oleh berbagai faktor dan interaksinya. Umur endemisitas dari daerah tertentu, kejadian penyakit sebelumnya, kekebalan yang terjadi dan tingkat kekebalan kelompok hewan merupakan faktor-faktor yang penting. Apabila wabah pertama kali melanda wilayah baru, tingkat penyebaran akan sangat tinggi dan kematian dapat terjadi pada hewan segala umur (Carter dan Alwis, 1989).

Meskipun penyakit SE mungkin terjadi setiap saat, penyakit umumnya terjadi dan berkembang selama musim penghujan dimana hewan banyak mengalami stres. Kondisi stres tersebut menyebabkan peningkatan daya tahan hidup kuman dalam induk semang dan peningkatan jumlah organisme dalam lingkungan. Dalam kondisi induk semang yang lemah, organisme dalam hewan carrier bertahan dan kepekaan hewan terhadap penyakit meningkat. Hewan dengan kondisi yang buruk dan keengganan pemilik hewan untuk melakukan vaksinasi juga berperan terhadap peningkatan kejadian penyakit (Mosier, 1993).

Vaksinasi SE

Untuk pengendalian ngorok/SE, vaksinasi masih merupakan cara yang utama. Karena sifat penyakit SE yang dapat berbentuk akut atau menimbulkan adanya hewan carrier yang asimtomatik (Hiramune dan De Alwis, 1982) maka pengendalian penyakit ini sangat tergantung pada tindakan profilaksis yaitu vaksinasi. Vaksin yang umum digunakan adalah vaksin alum presipitat yang memerlukan 2 kali penyuntikan per tahun. Vaksin lain berupa vaksin beradjuvan minyak yang selama ini digunakan sekali suntikan pertahun di Indonesia. Kelemahan vaksin mati beradjuvant minyak adalah tingginya viskositas sehingga menyulitkan penyuntikan. Salah satu rekomendasi FAO Regional Animal Production and Health Commision for Asia and the Pacific (FAO/APHCA) Subgroup on Haemorrhagic Septicaemia pada tahun 1986 adalah pengembangan vaksin yang menggunakan galur Pasteurella multocida avirulen karena di lapangan hewan yang mengalami infeksi secara subklinis mempunyai tingkat kekebalan yang tinggi (Myint, 1994).

Vaksin terhadap SE dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: vaksin mati dan vaksin hidup. Umumnya vaksin mati mengandung Pasteurella multocida tipe B:2 dari isolat lokal masing-masing negara. Di India digunakan strain IVRIP 52 yang dinyatakan mempunyai sifat imunogenik yang khusus. Malaysia menggunakan 5 strain yang berasal dari berbagai wilayahnya. Sementara itu, di Indonesia digunakan strain Katha yang berasal dari Birma.

Berbagai cara penyiapan vaksin sudah dikembangkan untuk mengendalikan penyakit SE. Salah satunya adalah Oil adjuvant bacterin atau vaksin adjuvant minyak telah terbukti cukup efektif. Emulsi minyak ini minimal harus mengandung 2 mg bakteri kering dalam 3 ml emulsi. Vaksin ini memberikan kekebalan selama 6-9 bulan setelah vaksinasi pertama pada hewan muda, dan dapat melindungi sampai 12 bulan setelah revaksinasi. Vaksin ini cukup kental dan agak sulit di dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruangan, mempunyai waktu simpan yang singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek samping berupa reaksi lokal (Bain et al. 1982). Usaha untuk mengurangi kekentalan vaksin bisanya berakibat pada pengurangan kekebalan bila dibandingkan dengan yang diberikan oleh oil adjuvant vaccine yang konvensional. Dua vaksin adjuvan minyak telah dikembangkan dengan kekentalan yang rendah dan menimbulkan titer antibodi yang tinggi sampai 230 hari (Muneer dan Afzal, 1989). Penggunaan vaksin SE inaktif beradjuvan minyak sudah terbukti daya proteksinya. Mulai 1977/1978, program pemberantasan SE dilaksanakan di pulau Lombok dengan menggunakan vaksin ini dan tahun 1985 pulau tersebut dinyatakan bebas SE.

 

Materi dan Metode

Ternak Kerbau di tiga instalasi BPTUHPT Siborongborong yang berusia diatas 2 bulan. Bahan yang dibutuhkan adalah sediaan vaksin inaktif (mati) Septicemia Epizootica strain Katha dalam emulsi minyak dengan nomor batch 610E8VN yang diproduksi oleh PT. Vaksindo.

Waktu perlakuan vaksinasi dilaksanakan mengikuti agenda program vaksinasi pada Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan ternak Siborongborong. Rute pemberian melalui penyuntikan intramuskular. Vaksinasi dilakukan pada pagi hari dan dilakukan di dalam kandang pemeliharaan untuk mengurangi stress pada ternak.

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil kegiatan vaksinasi dapat dilihat pada uraian dan tabel dibawah ini.

1. Hasil kegiatan vaksinasi se pada ternak kerbau Instalasi Silangit

Dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2020. Jumlah ternak yang divaksinasi sebanyak 75 ekor.

Jenis Kelamin Jumlah (Ekor)
Jantan 16
Betina 59
Total 75

Tabel 2 Jumlah ternak yang divaksinasi berdasarkan jenis kelamin di Instalasi Silangit

Umur Jumlah
2 bulan - 8 bulan 10
9 bulan - 24 bulan 15
 24 bulan 50
Jumlah 75

 

2. Hasil kegiatan vaksinasi SE pada ternak kerbau Instalasi Rondaman Palas

Dilaksanakan pada tanggal 6 Pebruari 2020. Jumlah ternak yang divaksinasi sebanyak 81 ekor.

Tabel 4 Jumlah ternak yang divaksinasi berdasarkan jenis kelamin di Instalasi Raondaman Palas

Jenis Kelamin Jumlah (Ekor)
Jantan 29
Betina 52
Total 81

Tabel 5 Jumlah ternak yang divaksinasi berdasarkan umur Instalasi Rondaman Palas

Umur Jumlah (Ekor)
2 bulan - 8 bulan 5
9 bulan - 24 bulan 11
> 24 bulan 65
Total 81

 

3. Hasil kegiatan vaksinasi SE pada ternak kerbau Instalasi Bahal Batu

Dilaksanakan pada tanggal 27 April 2020. Jumlah ternak yang divaksinasi sebanyak 122 ekor.

Tabel 6. Jumlah ternak yang divaksinasi berdasarkan jenis kelamin di Instalasi Bahal Batu

Jenis Kelamin Jumlah (Ekor)
Jantan 28
Betina 94
Total 122

Tabel 7 Jumlah ternak yang divaksinasi berdasarkan umur di Instalasi Bahal Batu

Umur Jumlah (Ekor)
2 bulan - 8 bulan 20
9 bulan - 24 bulan 32
> 24 bulan 70
Total 122

Total ternak yang telah divaksinasi sebanyak 278 ekor dari 290 ekor populasi ternak kerbau di tiga instalasi kerbau BPTUHPT Siborongborong. Sebanyak 12 ekor ternak belum divaksinasi karena berusia < 2 bulan. Ternak dengan usia satu bulan dinilai masih memiliki maternal antibody dari induk sehingga vaksinasi tidak akan efektif untuk dilakukan.

 

Kesimpulan dan Saran

Penyakit ngorok (Septicaemia epizootica) adalah penyakit yang disebabkan oleh Pasteurella multocida B:2, menyerang hewan sapi dan kerbau, bersifat akut dan sangat fatal. Untuk pengendalian ngorok/SE, vaksinasi masih merupakan cara yang utama. Karena sifat penyakit SE yang dapat berbentuk akut atau menimbulkan adanya hewan carrier yang asimtomatik maka pengendalian penyakit ini sangat tergantung pada tindakan profilaksis yaitu vaksinasi. Total ternak kerbau yang telah divaksinasi sebanyak 278 dari 290 ekor diantaranya 75 ekor ternak kerbau dimana 12 ekor tidak divaksinasi karena berusia < 2 bulan dan dinilai masih mengandung maternal antibodi.

Kegiatan vaksinasi SE pada ternak kerbau dilaksanakan wajib dalam pengawasan dokter hewan karena keputusan dokter hewan sangat penting dalam memutuskan seekor ternak layak untuk dilakukan vaksinasi. Keputusan tersebut didasari oleh pemeriksaan status praesent dan physical examination pada ternak. Setelah dilakukan vaksinasi sebaiknya dilakukan pengambilan sampel untuk pengujian titer antibodi tujuh hari setelah vaksinasi untuk mengetahui keberhasilan reaksi vaksinasi dan pengulangan vaksinasi bila diperlukan.

 

Daftar Pustaka

Bain, R.V.S.; M.C.L. De Alwis; G.R. Carter And B.K. Gupta. 1982. Haoemorrhagic Septicaemia. FAO of the United Nations, Rome.

Carter, G.R. And M.C.L. De Alwis. 1989. Haemorrhagic Septicaemia. In: Adlam, C. and Rutter J.M., Pasteurella and Pasteurellosis. Academic Press Limited, London. p. 131 – 160.

De Alwis, M.C.L. 1992. Haemorrhagic Septicaemia. A General Review. Brit.Vet. J. 148: 99-112

Hiramune, T. and M.L.C. De Alwis. 1982. Haemorrhagic Septicaemia carrier status of cattle and buffaloes in Sri Lanka. Trop. Anim. Health Prod. 14: 91-92.

Lily Natalia dan Adin Priadi. 2018. Penyakit Septicaemia Epizootica: Penelitian Penyakit dan Usaha Pengendaliannya Pada Sapi dan Kerbau Di Indonesia. Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar, Balitvet.

Mosier, D. 1993. Prevention and control of Pasteurellosis. Pasteurellosis in Production Animals. ACIAR Proc. no. 43.

Myint, A. 1994. Use of intranasal aerosol vaccine: hope for haemorrhagic septicaemia erradication in Asia and the Pacific region. Asian Livestock 19:101-104.

Natalia L, Priadi A. 2006. Penyakit Septicaemia Epizootica: penelitian penyakit dan usaha pengendaliannya pada sapi dan kerbau di indonesia. Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar.Perpustakaan digital Badan Litbang Pertanian.14.

[NTTO] Nusa Tenggara Timur Onlinenow Indonesia. 2017. Hasil uji laboratorium, kematian sapi di Amarasi akibat SE. Media Online www.nttolinenow.com [Internet]. [Diunduh 2017 May 30]. Tersedia pada: http://www.nttonlinenow.com/new- 2016/2017/02/07/hasil-ujilaboratorium- kematian-sapi-di-amarasi-akibat-se/

Wijewardana, T.G., N.U. Horagoda, A.A. Vipulasiri, and S.A. Thalagoda. 1993. Isolation and characterization Pasteurella multocida from tonsils of apparently healthy cattle. Pasteurellosis in production animals. ACIAR Proc. no.43